Pages

Sepintas Belajar dari Masyarakat Baduy Banten

[Tulisan ini dilombakan pada National Geographic Travelmate 2016)


Berawal dari perjalanan untuk mengeksplorasi kearifan teknologi lokal, kami justru belajar makna keikhlasan dan kebahagiaan dari masyarakat Baduy, tepatnya di Kampung Kadu Ketug III.



Setiap peradaban memiliki teknologinya untuk melestarikan kehidupan peradaban tersebut, Masyarakat Baduy misalnya, untuk menyimpan padi mereka memiliki teknologi bernama Leuit Baduy yang mampu menyimpan padi lebih dari 50 tahun.

Pada bulan Maret 2015, kami pun berangkat ke Baduy, Banten, untuk melakukan eksplorasi lebih terhadap Leuit ini dan belajar dari kearifan masyarakatnya. Kami memilih kampung Kadu Ketug III untuk melakukan home stay bersama warga.

Siapa yang menyangka, dari niat awalnya yaitu ingin meneliti Leuit, kami justru belajar banyak tentang keikhlasan dari masyarakat Baduy ini. Pelajaran ini salah satunya didapat dari Bapak Saija, seorang pembuat Leuit yang sudah berusia lanjut. Beliau bercerita bahwa bulan lalu (Februari) panen di Kampung Kadu Ketug banyak yang gagal karena pengaruh cuaca.

Terlihat guratan sedih di wajahnya, saat dia bercerita. Namun, guratan itu hilang ketika dia melanjutkan ceritanya. “Tapi, Alhamdulillah, kita yakin kalau alam tidak akan mengkhianati mereka yang menyayanginya. Dan kami menyayangi alam.” Alih-alih bersedih, Pak Saija justru mengajak kami bermain alat musik khas Baduy, Karinding. Saat itu tawa lepas mencerminkan keikhlasan Pak Saija. “Kami di sini sangat menghormati Dewi Sri (sebutan mereka untuk Dewi keseuburan). Jadi kami harus ikhlas dan yakin.”


Setelah berbincang banyak dengan Pak Saija, kami kembali berkeliling kampung dan menyapa masyarakat. Selain itu kami juga diajak untuk melihat tempat Leuit yang ternyata diletakkan jauh dari pemukiman. Hal ini bertujuan untuk melindungi dan memberi penghormatan pada padi itu.
Dari cerita masyarakat, kami juga paham bahwa masyarakat Baduy memiliki peraturan yang ketat terhadap listrik dan sekolah formal. Di sini tidak boleh ada listrik, sehingga saat malam sangat gelap. Selain itu juga, masyarakatnya tidak ada yang boleh ikut sekolah formal. Hal ini sudah menjadi ketentuan adat yang berlaku di sana. Namun, jika ditanya tentang semangat mereka belajar hal itu tidak perlu diragukan lagi. Marsa dan Sanudin, dua orang kakak beradik, anak dari Kang Mista, host homestay kami selama di Baduy membuktikannya.

 Di gelap malam yang hanya ditemani oleh temaram lampu teplok, Sanudin dan Marsa mendekatiku yang sedang membaca buku. Mereka penasaran. Mereka ingin belajar. Aku ajari mereka sedikit-sedikit tentang huruf dan angka. Keceriaan khas anak kecil saat belajar timbul di gelap malam. Kami pun belajar hingga larut.

Sepintas terlihat seperti Marsa dan Sanudin yang belajar, padahal sejatinya kami yang sedang belajar dari mereka. Renungan kembali hadir. Dengan segala fasilitas yang ada di kota, mengapa kita masih saja memiliki rasa malas untuk belajar? Dengan segala kenikmatan yang ada mengapa kita masih mengutuki keadaan dan sulit sekali bersyukur dan menghargai alam?

Rio

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

No comments:

Post a Comment

Ikutlah berdiskusi disini, amalkanlah ilmu kalian :