HP berdering, aku kembali melihat SMS, ternyata SMS dari Bang Raja. Kali ini aku menanyakan mengenai pengiriman naskah ke koran. Aku mengenal Kang Raja dari lomba menulis yang diadakan FISIP dan FMIPA UNPAD. Apakah dia guru yang baik? Aku bertanya dalam hati. Saat mmbaca SMS-nya aku tahu bahwa dia sudah pernah dua kali menulis di Pikiran Rakyat. Menembus koran, adalah sesuatu yang baik bagiku. Aku teringat kata-kata Kang Fatih yang berceloteh tenatang naik kelasnya seorang penulis. Jika hanya diam bagaimana seorang penulis mau naik kelas. Pertama menulis, kemudian tulisan kita dihargai orang lain, bisa masuk koran dan dibaca lebih banyak orang, menulis buku atau novel, kemudian tidak berhenti sampai di sana. Penulis masih bisa naik kelas dan mencoba menghasilkan karya yang layak untuk difilmkan.
Naik kelas, semerbak sekali kedengarannya. Aku mengirim pesan kepada Kang Fatih mengenai hal ini. Tetapi Beliau belum membalas, kemudian aku juga bertanya pada Bang Raja yang sudah kembali ke Medan saat berkomunikasi denganku. Dia menjawab dan memberi semangat. Sebelumnya sudah berpuluh-puluh kali aku mencoba mengirim email ke redaksi-redaksi koran, namun belum ada satu pun yang menjadi tanda kenaikan kelasku sebagai penulis. Aku mengingat kembali tulisan pertamaku yang dimuat di Ampera Post, Mingguan lokal di Sumatera Selatan.
Sekali waktu, Idul Fitri tahun 2012, aku menyempatkan diri untuk pulang ke Palembang. Setelah kami sekeluarga mengunjungi kakek dan nenek di Dusun Gunung Agung, Tanjung Sakti, aku menemukan koran berjudul Ampera Post. Hatiku terketuk untuk mencoba mengirim tulisan ke koran ini saat melihat alamat koran tersebut terpojok di bawah koran. Pagi hari setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah aku berpamitan dan mencium tangan mama. Aku tunggangi Jagur 1, motor Supra yang keluarga kami beli tahun 2000. Sudah lama sekali aku tidak menungangi Jagur 1.
Aku menyandang Jagur 4, tas hitam hadiah Mama saat aku berhasil masuk Olimpiade Sains Nasional. Jagur 4 aku isi amplop berisi file tulisanku. Ku beri judul gagah, segagah-gagahnya. "Jangan Malu Menjadi Bangsa Tempe". Gagah bukan judul ini. Kota Palembang tidak berubah banyak setelah aku tinggalkan untuk mencari ilmu di Jatinangor. Belum macet, belum banyak polusi, tetapi masih sangat panas. Aku melintasi jembatan Ampera. Jagur dan aku harus memutar karena kami terlalu jauh dari tempat yang dituju. Aku membaca koran yang juga ku bawa. "Komplek Ogan Ilir Permai". Aku tanyakan alamat pada bibi penjual makanan yang ada di pinggir jalan. Ternyata, tulisan megah sudah ada di belakang kami, tulisan yang menandakan jejeran rumah-rumah ini adalah Komplek Ogan Ilir Permai.
Kecepatan Jagur 1 masih bagus, mesinnya mulus. Ini pasti karena Bayu sering merawatnya. Meski kami sudah berkeliling sekitar satu jam, kami belum menemukan tempat yang kami cari. Jagur 4 mulai kelelahan, tetapi tak mau berhenti. Asap mengepul dari sudut pandangku, ternyata asap itu berasal dari seorang bapak dan istrinya yang sedang membakar sampah. Kami berhenti di depan Beliau. Telunjuk Beliau dengan semangat mengapung menunjukkan arah alamat redaksi Ampera Post yang sedang aku cari. Kami pun kembali berpacu dengan waktu.
Hampir dua jam kami mengelilingi komplek Ogan Ilir Permai yang ternyata sangat luas. Jagur 1 dan aku beristirahat dahulu di bawah pohon. Aku teguk air minum yang ku bawa, ku periksa kembali barang bawaanku. Amplopnya masih mulus, isinya pun lengkap. Aku baca kembali artikel ini dan membayangkan ia akan dengan gagah dibaca orang-orang. Lamunan ku buyar saat rintik hujan mulai membasahi kepalaku. Untunglah hujan tidak menderas, hanya menyerbuk sedikit. Aku putuskan untuk memacu kembali Jagur 1. Tidak lama kami berjalan, ada palang hiau yang menunjukkan jalan Riau, jalan tempat kantor redaksi Ampera Post berada. Adrenalin aku semakin meningkan, aku yakin kalau Jagur 4 dan 1 punya adrenalin, adrenalin mereka pun akan terpacu pula.
Aku sampai di depan sebuah rumah kecil. Benih keraguan mulai tumbuh di hati, apakah benar rumah kecil ini adalah redaksi Ampera Post. Namun, aku ingat perjuangan ku, ingat perjuangan Jagur 1 dan 4. Aku mengetuk pintu dan seorang anak kecil menyambutku. Dia memanggil-manggil ayahnya dan keluarlah seorang bapak paruh baya dan aku tahu kalau dia adalah Pak Ismail Pemimpin Redaksi Ampera Post. Jadilah hari itu, hari di mana aku mendapat banyak pelajaran.
Aku sampai di depan sebuah rumah kecil. Benih keraguan mulai tumbuh di hati, apakah benar rumah kecil ini adalah redaksi Ampera Post. Namun, aku ingat perjuangan ku, ingat perjuangan Jagur 1 dan 4. Aku mengetuk pintu dan seorang anak kecil menyambutku. Dia memanggil-manggil ayahnya dan keluarlah seorang bapak paruh baya dan aku tahu kalau dia adalah Pak Ismail Pemimpin Redaksi Ampera Post. Jadilah hari itu, hari di mana aku mendapat banyak pelajaran.
No comments:
Post a Comment
Ikutlah berdiskusi disini, amalkanlah ilmu kalian :