Pages

Cerpen Mutiara Hitam Berkilau di Tanah Sunda oleh Rio Alfajri

Mutiara Hitam Berkilau
oleh Rio Alfajri

Cerahnya pagi itu membuat Titus Ortiz tersenyum bahagia. Di sampingnya duduk seorang anak yang tidak terlalu jauh umurnya dari dia. Dia adalah Cornelis Ortiz teman dari Titus. Titus amat bahagia karena untuk pertama kalinya dia akan pergi meninggalkan pulau yang dicintainya, Papua. Sebenarnya lebih senang lagi, inilah pertama kalinya dia meninggalkan desanya yang terletak di pedalaman Kota Merauke. Yang lebih membuat hati kedua anak ini berbunga-bunga adalah mereka meninggalkan tanah kelahiran dengan misi pengharuman daerah mereka.

“Cor, ini kali pertama aku naik pesawat, aku agak sedikit takut.” Ungkap Titus sambil berbisik.
Cornelis termenung, diam tidak bergumam, dia hanya duduk termenung di pinggir jendela pesawat. Sejak meninggalkan bandara tadi dia terus melihat ke belakang. Tidak lama kemudian Cornelis meregangkan tubuh dan menoleh ke arah Titus.
 Ala, Einstein, kau harus membiasakan naik pesawat, kan nanti kita akan sering naik besi terbang ini.” Cornelis menegur kawannya dengan lembut.

 Jika Titus sering disapa Einstein, Cornelis lebih akrab dipanggil Smith. Smith berasal dari nama Bapak Ekonomi asal Skotlandia, Adam Smith. Einstein dan Smith adalah julukan yang diberikan oleh mentor mereka. Einstein dan Smith kecil asal Papua ini adalah anak seorang pemburu hewan liar di hutan Merauke, mereka tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Dia ditemukan oleh seorang mentor dari program “olimpian muda”, program binaan Professor Yohannes. Dalam program ini, mentor-mentor dipilih dari medalis-medalis Olimpiade Sains Nasional yang telah berkuliah di Universitas. Mentor-mentor tersebut dengan sukarela pergi ke desa-desa terpencil di seluruh pelosok Indonesia. Mereka menemukan mutiara-mutiara dari Aceh hingga Papua. Sungguh luar biasa, ternyata di tanah air ini banyak mutiara berkilau dan bertebaran indah.

Einstein dan Smith ditemukan saat mereka sedang berada di hutan mencari hewan liar bersama orang tuanya. Mentor mereka adalah Pyan, seorang Palembang yang mengharumkan nama sebuah SMA Katolik di tanah Bandung di bidang ekonomi, dan Aulia, seorang putri Sunda asli yang memiliki kecerdasan luar biasa di bidang Fisika. Kebetulan mereka berdua ditugaskan di desa yang sama di Merauke.

Smith melihat ke arah Einstein. Ia membuka pembicaraan untuk mencairkan ketegangan Einstein.
“Einstein masih ingat pertama kali kita bertemu bang Pyan dan Teh Aulia?” Tanya Smith.
“Tentu saja, kala itu aku ingat betul, kau yang paling sulit diajak untuk ikut belajar kan?” serang Einstein.
“Ah, meski begitu, lihat sekarang, aku adalah ekonom yang siap untuk mengharumkan Papua dan Indonesia.” Jawab Smith, seraya meluruskan badannya.

“Tapi, nanti kita akan bertemu orang-orang yang hebat dari seluruh Indonesia bahkan dunia, aku semakin bersemangat.” Einstein menggebu.

“Asal jangan gugup saja, kau juga berkata begitu saat pertama kali akan menangkap ular bersama, tapi saat melihat ular kau yang pertama lari.” Smith tertawa lepas.

“Tenang kalau membahas masalah Fisika, aku orang yang paling semangat. Kamu tahu tidak Smith, saya sangat ingin bertemu dengan Bang Pyan dan Teh Aulia lagi. Apa bisa ya, mereka kan sudah janji.” Einstein berkata sambil menghela nafas.

“Tenang, Bang Pyan dan Teh Aulia orangnya jujur, lagipula kita akan dikumpulkan dengan orang-orang hebat se-Indonesia di tanah Sunda, tanah yang indah yang menjadi semangat kita saat pertama kali belajar Fisika dan Ekonomi dulu.” Jelas Smith.

Tidak terasa setelah bercakap-cakap kecil pesawat mereka bersiap untuk mendarat di Bandara Husein Sastranegara Bandung. Smith memperbaiki posisi duduknya, sementara Einstein mengencangkan sabuk pengamannya yang sudah kencang. Keringat menetes di kening Einstein. Smith menepuk paha Einstein dan tersenyum.

Seorang ibu yang berperawakan tinggi dan langsing menanti di pintu kedatangan bandara. Ia membawa dua kalung bunga. Tanpa diminta ia mengalungkannya di leher Smith dan Einstein. Setelah itu, ia menggandeng Smith dan Einstein untuk bergegas ke sebuah rombongan anak yang ada di ruang tunggu bandara.

Di sana ada anak-anak yang berbatik, memakai rompi bertuliskan Sulawesi Selatan, jaket berwarna hijau dengan tulisan Surabaya, hingga berkaos biasa seperti Einstein dan Smith. Semuanya sama, mereka membawa tas dan kopor yang seakan mau meledak memuntahkan isinya yang terlalu penuh. Semua anak ini juga penuh semangat untuk membuktikan mereka tidak salah untuk terpilih.

Smith yang ketika turun dari bandara bersemangat mendadak pucat. Einstein yang sedari tadi gugup juga hanya bisa menoleh pada Einstein. Mereka adalah rombongan terakhir yang sampai di Bandung. Ternyata, rombongan tersebut mengerubungi seorang remaja tanggung, umurnya kira-kira 25 tahun. Setelah beberapa saat mengikuti, Smith dan Einstein mulai memahami bahwa mereka sedang diberikan pengarahan untuk kegiatan mereka selama di Bandung. Di akhir-akhir briefing remaja tanggung tadi mengeluarkan sebuah kertas dan membacakan nama-nama orang tua asuh mereka selama di Bandung, jadi mereka tidak akan tinggal di sebuah hotel. Tujuannya adalah agar mereka tetap membumi, Professor Yohannes percaya bahwa seorang juara adalah mereka yang dekat dengan sesamanya dan Tuhannya.

Smith dan Einstein ternyata harus tinggal bersama Ibu Karmillah di daerah Kebon Kalapa.
“Kebon Kalapa Eins?” Smith mengernyitkan dahi.
“Jalani saja Smith, semoga kita bertemu dengan orang baik di sana.” Einstein menepuk pundak Smith.
Setelah briefing selesai semua rombongan berpisah, terlihat Einstein dan Smith menenteng bawaan mereka dan masuk ke sebuah mobil. Smith memilih untuk duduk di depan, di sebelah supir. Sementara Einstein duduk di belakangnya. Beberapa saat setelah mesin dinyalakan pintu sebelah kanan mobil terbuka. Seorang anak tergopoh-gopoh naik dan menyapa Einstein dan Smith. Ternyata dia adalah Gorby, anak Siantar yang mewakili Sumatera Utara di gerakan ini. Gorby ternyata juga harus tinggal bersama Ibu Karmillah. Dalam mobil ketiganya mulai berkenalan, meski awalnya agak sedikit canggung, Gorby yang gemar mengeluarkan lelucon ini bisa mencairkan suasana. Dari percakapannya diketahui bahwa orang tua Gorby pernah tinggal di Cianjur, Jawa Barat, tetapi mereka harus pindah ke Siantar karena sebuah alasan.

“Gorb, kamu wakil di bidang apa?” Einstein bertanya.
“Saya diajari oleh Mas Catur, mentor saya dulu, pelajaran yang unik yaitu kimia.” Ia menjawab dengan senyuman lebar.
“Kimia?” Smith heran karena baru pertama kali ia mendengar kata itu.
“Iya, Kimia itu seru kali, kalau kita sudah sampai nanti akan aku ceritakan hal-hal yang harus kalian ketahui tentang kimia.” Jelas Gorby semangat.
Tapi, saya agak sedikit ragu untuk melanjutkan perjuangan saya di sini.” Tiba-tiba Gorby tertunduk.
“Mengapa? Bukannya tadi kamu sangat semangat?” Sergah Einstein dengan tanya.
“Iya, soalnya tadi saat berkumpul dengan teman-teman lain dari bidang Kimia, mereka semua pintar dan saya hanya terlihat seperti seorang anak yang tidak ada apa-apanya.” Wajah Gorby terlihat murung.
“….” Einstein ingin menjawab tetapi,
“Iya, saya juga merasakan itu Gorb.” Ungkap Smith memotong Einstein.

Setelah percakapan itu selesai, perjalanan menjadi lebih sunyi. Tiada lagi percakapan seru antara tiga anak rantau berlian ini. Mereka seakan tunduk dalam kelesuan. Gorby menyandarkan diri ke kursi dan mulai memejamkan matanya. Perjalanan memang masih sekitar satu jam lagi sehingga dia memilih tidur. Smith yang mencoba tidur, namun tak bisa, membuka tas kecilnya dan membuka buku tulis putih berisi catatan buah simpulannya setelah belajar ekonomi.

Sesekali ia tersenyum kecil, membaca buku putih itu. Di dalamnya banyak hal istimewa, mulai dari analisis perilaku manusia, gambar-gambar peraga perilaku ekonomi yang dibuatnya dengan lucu, hingga kisah-kisah yang diceritakan oleh Bang Pyan. Smith dikenal gila mencatat, apa saja yang dianggapnya menarik pasti dicatatnya. Bang Pyan pernah berkata bahwa suatu saat nanti dia bisa menjadi penulis yang hebat.

Berbeda dengan yang lain, Einstein terlihat mengawang atap mobil. Dia membayangkan sesuatu. Tapi entah apa yang dibayangkannya. Sesekali dia menggerakkan jarinya ke udara seperti sedang memindahkan sesuatu. Einstein memang diberi kesempatan berkhayal yang tinggi oleh Teh Aulia. Teh Aulia menceritakan bahwa membayangkan konsep Fisika dalam pikiran akan sangat menyenangkan apalagi saat kita sedang bosan melakukan sesuatu. Einstein sekarang sedang menerapkannya. Ia membayangkan konsep fluida atau cairan dalam dua selang ukuran berbeda, bagaimana bentuk dan ukuran akan memengaruhi tekanan fluida tersebut, dibayangkan Einstein dengan cermat. Ia tidak pernah lelah berimajinasi. Di suatu senja di Merauke Einstein pernah membuat Teh Aulia terkejut dengan kemampuannya memecahkan konsep gravitasi bulan yang belum pernah diajarkan oleh Teh Aulia sebelumnya. Titus Ortiz dan Albert Einstein benar-benar memiliki jiwa yang mirip.

Tetapi, sore itu berbeda, perasaan cemas mereka membuat kebiasaan khas mereka seperti kurang berkesan. Smith yang tersenyum melihat buku putihnya terkadang terlihat murung memikirkan sesuatu, Einstein pun demikian. Tekanan mental yang mereka hadapi sungguh luar biasa.

“Gludak-gluduk”
Mobil yang ditumpangi mereka terantuk-antuk batu saat memasuki sebuah gang. Mereka sudah sampai di Kebon Kalapa. Tidak lama setelah mereka berjalan dari mulut gang, terlihat sebuah rumah sederhana dengan kebun kecil yang dipenuhi bunga. Mobil pun berhenti tepat di depan rumah itu. 

“Assalamualaikum…” Sapa supir yang mengantar mutiara hitam ini.
“Waalaikumussalam” Jawaban dari rumah terdengar merdu. Pintu pun terbuka dan keluarlah seorang ibu dengan kerudung yang berwajah ramah.
Mangga, masuk, ini pasti Einstein, Smith, dan Gorby ya. Ayo wilujeng sumping.” Sapanya ramah.
Mereka bertiga saling melirik heran. Ada beberapa pertanyaan yang terlintas di benak ketiganya. Pertama siapakah wanita yang ramah ini. Kemudian apa arti wilujeng sumping. Dan yang paling membuat hati Einstein dan Smith kesemutan adalah mengapa ibu tadi memanggil mereka Smith dan Einstein bukan Cornelis dan Titus. Semua pertanyaan ini, entah siapa yang akan menjawabnya.
Mereka pun melangkah masuk setelah mengucapkan selamat tinggal dan terima kasih pada supir yang telah membantu mereka selama ini.
“Saya Ibu Karmillah yang akan menjadi ibu kalian di sini, Einstein dan Smith heran ya?” Ibu Karmillah memerkenalkan diri.
“Di dalam kalian akan bertemu dengan orang yang menyuruh Ibu untuk memanggil kalian Einstein dan Smith.” Ungkap Ibu Karmillah.
“Bang Pyan, Teh Aulia?!?!” Teriak keduanya seraya berlari dan masuk ke rumah yang pintunya sudah terbuka.
Gorby pun masuk mengikuti mereka.
Wilujeng Sumping, selamat datang, Smith, Einstein, Gorby.” Sapa seorang perempuan berparas indah, dialah Teh Aulia.
“Ayo semuanya duduk di sini!” Bang Pyan menepuk kursi ruang tamu yang ada di sebelahnya.
Mereka berlima larut dalam percakapan seru dan saling mengucap rindu. Einstein dengan bangga memamerkan keberhasilannya memecahkan konsep gelombang yang waktu itu menjadi PR sebelum Teh Aulia meninggalkan Merauke. Smith juga tak mau kalah konsep pendapatan nasional sudah ia kuasai, karena sebelumnya ini adalah konsep yang paling sulit ia mengerti. Bang Pyan dan Teh Aulia tersenyum dan berbagi tawa dengan mereka.
Bu Karmillah yang baru datang membawa makanan ringan serta minuman ikut bergabung. Ia melihat Gorby terdiam dan terlihat lesu. Ia pun menanyakan hal ihwalnya pada Gorby. Gorby menejelaskan dengan gamblang bahwa ia sedang gugup dan merasa ragu. Mendengar cerita dari Gorby, Smith dan Einstein pun ikut tertunduk, mereka merasa tak berani berjuang di tanah orang. Mereka khawatir orang sunda kurang bisa menerima mereka.
“Bahagialah kalian semua, kalian telah terpilih dan dikuatkan untuk sampai sejauh ini.” Bang Pyan menyemangati.
“Kami semua akan menerima kalian. Tahukah kalian, wilujeng sumping itu artinya selamat datang. Kami semua menerima kalian.” Ibu Karmillah mengulangi perkataanya untuk meyakinkan mutiara-mutiara ini.
“Saat kalian bertanding nanti, tunjukkan bahwa kalian datang ke sini untuk orang tua, agama, tanah kelahiran, dan bangsa Indonesia. Abang yakin semua teman-teman kalian juga akan berjuang demi semuanya itu. Karena itu, kalian tidak perlu ragu, toh yang diperjuangkan adalah hal yang mulia.” Abang Pyan menjelaskan dengan sabar.
“Sekarang semuanya ke ruang makan yuk. Kita makan masakan sunda asli buatan Ibu Karmillah, sesudah itu kita istirahat dan belajar lagi untuk cita-cita kita. Tetapi, kalian harus ingat bahwa kalian sudah diterima di sini, oleh karena itu, wilujeng sumping” Teh Aulia mengakhirinya dengan senyum.
“Wilujeng Sumping…” Jawab Gorby cepat.
“Wilujeng Sumping juga…” Smith dan Einstein menyusul dengan semangat.
Semangat mutiara-mutiara ini telah kembali, mereka merasa diterima di sini. Mereka memiliki keluarga di tanah Sunda dan siap kembali berjuang memberi yang terbaik.

Rio

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

No comments:

Post a Comment

Ikutlah berdiskusi disini, amalkanlah ilmu kalian :