Pages

Cerpen : Murka Gunung Dempo (Lanjutan) (Happy Ending)

Masih ingat dengan posting saya Murka Gunung Dempo Kalau masih di sana ada kata bersambung maka ini adalah lanjutannya. Ayo-ayo disimak





Setelah itu rombongan keluarga tadi pun segera naik dengan mobil tadi dan menuju puncak gunung, entah mengapa si ayah ingin sekali berada di puncak Gunung Dempo tersebut. Meski awan mendung menyelimuti langit dan mengubah warnanya yang tadi cerah menjadi hitam legam, keluarga itu masih menyanyikan lagu "Naik-naik ke Puncak Gunung" dengan ceria. Karena di puncak ada sebuah gazebo dan mobil sulit naik karena permukaannya tanah -memang diperuntukan untuk pejalan kaki- maka keluarga itu pun sepakat untuk naik ke Gazebo dengan berjalan kaki. Mereka membawa bekal yang dibawakan nenek dengan terengah-engah. Sesampainya di Gazebo di sana ada rombongan keluarga lain yang sudah duluan beristirahat. Mereka juga sepertinya belum lama sampai dari rombongan keluarga Radi. 

Radi bermain gembira berlarian di tengah angin kencang yang tiba-tiba berhembus. Memang hujan belum turun tapi udaranya sudah sangat dingin. Ajeng dan Tono istirahat di Gazebo dan langsung membantu ayah dan ibunya menyiapkan makanan. Sementara Delima asyik berfoto dengan latar belakang hitam gulita, awan comolonimbus.
Terdengar ibu menegur bapak-bapak dari keluarga yang sebelumnya telah datang. Dia adalah seorang kakek berwajah dingin, dia menggunakan baju batik, entah mengapa mereka sekeluarga seperti pasukan dengan seragam batik semua. Mereka tidak terlalu ceria dengan keadaan gunung yang mendung seperti ini. "Ibu dari mana?" tanya kakek berbaju batik. "Kami sekeluarga dari Pagaralam, Kek. Kalau Kakek dan keluarga?"

"Kami dari liang kubur." jawaban kakek itu membuat bulu kuduk ibu merinding. Ayah yang sedang mencentong nasi pun terdiam. "Berarti sudah mati dong!" Jawab Delima yang baru saja selesai berfoto, tentu saja ucapannya hanya bercandaan khas Delima. "Hahaha, kami dari Kabupaten Lahat, Lahat kan artinya kuburan" jawab Si Kakek dengan tawa.Tapi, tawa si Kakek langsung berhenti karena seperti dikomando seluruh keluarga tadi turun dari Gazebo dan bergegas ke bawah. Mereka menuruni bukit dengan bergegas, ibu yang heran segera memanggil kakek, "Kakek mau ke mana?"
"Badai..." jawab si kakek singkat sambil menoleh.

Entah mengapa kami sekeluarga tetap diam di gazebo meski telah mendengar ucapan kakek tadi. Radi yang telah lelah berlarian langsung mengambil piring dan melahap nasi plus lauk dari nenek yang memang sangat enak. Beberapa saat kemudian hujan turun kami pun segera bergegas meringkaskan barang-barang untuk segera kembali ke mobil. Sempat terbesit di pikiran kata-kata si kakek dan peristiwa bau pesing yang menyengat tadi. Aku baru sadar semuanya sangat aneh. Sangat aneh.

Terlambat, sangat terlambat untuk menyadarinya sekarang. Hujan langsung berubah deras. Kami seperti ikan yang ditaruh di freeezer kulkas. Gazebo yang sempit itu tidak bisa menampung kami sekeluarga. Radi kehilangan keceriaannya. Hujan deras membuat kami kedinginan. Ayah menyuruh kami saling berdekatan agar tidak kedinginan. Beliau mengeluarkan rokoknya dan menyulutnya, api masih bisa hidup karena ayah tepat berada di dalam gazebo yang kering. Untuk pertama kalinya aku sangat bersyukur ada orang yang merokok di sampingku. Sebelum hal ini aku paling benci orang merokok.

Hujan makin deras, angin yang juga semakin kencang membuat hujan mengenai kami yang ada di dalam gazebo. Aku yang ada paling depan langsung menyadari bahwa air yang kena di kulitku adalah beda, beda dari biasanya. Ya, aku yakin ini adalah es, es batu berukuran seperti manik-manik. Kami sadar bahwa yang kami hadapi adalah hujan es. Kami gugup bisakah kami bertahan atau kami akan mati di sini. Mati kedinginan. 

Di tengah kebingungan semua orang berbeda dari biasanya. Radi yang biasanya ceria, hanya diam saja, sambil tersenyum ketika dipandang oleh orang-orang di sekitarnya. Delima mulai menangis, tapi Ajeng menenangkannya dan mulai mengajaknya berdoa. Aku pun berdoa dalam hati agar bisa selamat dari murka Gunung Dempo.  


Ayah memecah suasana keputusasaan itu. "Ayo, kita tak akan bisa selamat di sini kalau hanya menunggu, kita harus turun gunung. Ayah dan Ibu akan membawa barang-barang yang lain ikut Ajeng dan Rio ya. Ajeng dan Rio kalian bantu yang lain agar tidak terbawa angin. Hitungan ketiga kita lari menuju mobil."
 Jelas Ayah.

"Siap? Tiga..." seru ayah. Semua berlari mengerjakan tugasnya masing-masing.

Kami pontang-panting menuruni gunung, aku melihat ayah di depan menjatuhkan beberapa piring plastik yang langsung terbang di tiup angin. Ayah tak mempedulikannya ia langsung masuk mobil dan membuka mobil kami semua kedinginan di dalam mobil. Di mobil kami menggunakan baju ganti sebagai handuk, semua jok mobil basah akibat kami. Akhirnya kami mulai menjalankan mobil pulang. Banyak sebenarnya keanehan yang ingin kusampaikan pada mereka, terutama pada Radi dan Ibuku yang memang adalah subjek dari keanehan itu. Tapi akan ku simpan alasan  mengapa Gunung Dempo marah kepada kita hari ini. Akan ku simpan dengan mengucapkan syukur kami semua bisa selamat.

Rio

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

No comments:

Post a Comment

Ikutlah berdiskusi disini, amalkanlah ilmu kalian :